Header Ads

test

KESERAKAHAN

Tentang keserakahan, bagaimana cara kita bisa memahaminya? Jujur, saya tak bisa. Tapi seorang penyair bernama Nina Cassian menulis sebuah sajak, yang kemudian diterjemahkan di Amerika Serikat pada tahun 1990.

Aku serakah.

Para Puritan pun marah.

Karena kukejar meja hidangan

Yang tersaji di kehidupan

Dan semua kuingin dan kuimpikan

Mereka mencerca aku berpesta

Mereguk yang pahit dan yang meriah

Melulum krim berkendi-kendi

Mengenyam nyaman panasnya roti

Mereka kecam jepit dasiku

Dan sunting kembang yang di rambutku...

Nina Cassian, begitulah kita menyebutnya, adalah seorang Rumania. Ketika The New Yorker menerbitkan sajaknya, jika melihat sejarah, kita sudah tahu apa yang pernah terjadi di negeri itu. Presiden Ceauşescu dilengserkan oleh rakyatnya sendiri dan ditembak mati. Negara itu seperti penjara yang dibuka secara mendadak.

Kota menjadi riuh bahkan sampai kesudut-sudutnya, orang ramai, lantang berteriak: Libertate!, lalu esoknya para tahanan yang resminya disebut sebagai ”rakyat Rumania” itu untuk pertama kalinya melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, yang mungkin, eentah sejak kapan hilang: jeruk segar.

Rumania, di bawah kekuasaan Ceauşescu, jeruk dan potenta, jepitan dasi, dan entah apa lagi tak boleh didistribusikan dengan bebas. Harus di jatah dan dibatasi, harus direncanakan dari atas. Konsumsi masyarakat harus ditekan. Rumania harus tetap membayar utangnya dengan teratur. Dia berhasil. Ia punya cara. Karena tahu betapa musykilnya menasihati orang banyak agar tetap berada di jalan yang benar (dan itu artinya tak teramat suka jeruk segar), ia memakai tangan besi dan indoktrinasi.

Rakyat harus ditekan. Ceauşescu cukup punya spion dan penjara. Ia, pemimpin Partai Komunis Rumania, juga punya pendahulu. Di tahun 1920 Lenin pernah mencoba sistem ”Komunisme Perang” di Rusia. Pemerintahan komunis lain tak selamanya sekeras itu, tapi apa yang dikatakan Mao umumnya diikuti: ”Revolusi bukanlah satu jamuan makan”. Sebenarnya, tak ada yang salah dalam dasar pemikiran itu. Bahwa hemat itu pangkal kaya, dan menahan diri dari serakah itu pangkal mulia—itu adalah juga inti pepatah Melayu, teladan Nabi, doktrin Calvin, dan tuntutan kaum puritan. Juga ajaran Buddha. Juga imbauan Gandhi dan seruan Club of Rome. Semua mengatakan: hidup, secara utuh, dengan revolusi atau bukan, memang bukan hura-hura.

Tapi rakyat Rumania berontak, dan Nina Cassian menulis sajak. Di manakah kesalahan para ”puritan” yang suka marah dalam sajak itu? Salah satu jawaban mengatakan: mereka salah dalam hasrat mereka mau sempurna. Mereka mau membuat manusia dan dunia secara habis-habisan mengikuti satu rumus.

Maka, kaum ”puritan”—baik dalam pengertian Cassian, yakni para pendukung moralitas Ceauşescu, maupun dalam pengertian yang umum, terutama yang di kalangan agama tak Cuma hendak mengurus soal makan. Mereka juga ingin mengelola jepitan dasi dan suntingan kembang. Juga cinta. Nina Cassian pun meneruskan sajaknya:

Mereka tegur caraku mengatur

distribusi cintaku yang tampak ngawur

Tak pakai program, tak urut jatah

dan kerja tanganku berubah-ubah

Casian memberontak. Ia menuntut deregulasi cinta dan lain-lain. Masalahnya sudah jelas, tentu: tidakkah manusia akan jebol? Sangat mungkin. Kaum ”puritan” tahu itu. Tetapi kemudian mereka bukan lagi ingin agar manusia bisa berhemat untuk bayar utang atau untuk pembangunan suatu pertimbangan ekonomi, melainkan didorong oleh kemauan agar manusia bisa murni suatu pertimbangan moral, malah agama.

Oleh karena itu, Cassian pun berkata, ”Aku serakah.” Ia mengucapkannya sebagai protes dan pembangkangan. la berkeinginan menampar, mencabik-cabik dasar terdalam dari ”puritanisme” yang digelar Ceauşescu, yakni klaimnya kepada hidup manusia yang sudah mirip klaim sebuah agama supaya manusia jadi ”benar”. Cassian ingin menunjukkan kekeliruan yang begitu dasar sebuah ideologi yang cenderung memaksakan satu gambaran manusia ideal, dan itu adalah manusia yang membenci hasrat badan dan tak punya keinginan buat diri sendiri. 

Salahkah gambaran itu? Sebenarnya, itu bukan pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang penyair. Sepantasnya itu dijawab oleh ideolog, agamawan, dan mungkin juga seorang teoretikus yang akan mencoba menjawabnya. Jawaban penyair lebih memandang manusia sebagai si A atau si B, dengan pribadi masing-masing dan segala keperibadiannya, bukan orang dalam konsepsi. Maka dari itu, Cassian hanya bilang, ”Aku serakah.” Dia tak mengatakan, ”Manusia itu serakah.” Dia juga tak hendak mengatakan ”rakus itu bagus”, seperti si tamak jahat dalam film Wall Street. Sebab, dari kesuraman Rumania, dari republik yang melarang orang makan jeruk, kata ”serakah” barangkali cuma berarti: ”doyan buah”. Sungguh bersahaja.


Al-Musyahadah, 2021


No comments